Sepanjang yang pernah saya alami ketika bekerja di software house dan bersumber dari beberapa teman yang pernah pada bidang kerja di bidang yang sama ada beberapa persamaan yang menyebabkan bangkrutnya perusahaan software diindonesia
Namun banyak juga perusahaan software house yang bisa berkembang pesat diindonesia yang bisa menyiasati kekurangan pada ke empat point diatas. Sebut saja Bali Camp, Jogja Camp dan Sigma Group yang kini sahamnya dikuasai oleh Telkom.
Tak dipungkiri memang Nilai lelang yang diadakan oleh lebaga pemerintahan
nilai pagunya ratusan juta sampai miliaran rupiah untuk sebuah aplikasi yang hanya dikerjakan beberapa bulan saja. Lelang aplikasi biasanya muncul ketika menjelang akhir tahun istilahnya sich untuk menghabiskan anggaran tahun tersebut. Ketika musim lelang
sudah selesai maka pekerjaan pun nyaris selesai dan pemasukkan yang mempunyai nilai
yang tinggi hanya dari sektor ini. Jadi bisa disimpulkan perusahaan tidak mempunyai
produk yang bisa dijual tanpa harus banyak penyesuaian. Aplikasi hasil lelang biasanya
mempunyai kualitas yang buruk mengingat visinya hanya mendapatkan uang, sebagai
ladang bagi para panitia lelang untuk mengeruk keuntungan dari para konsultan IT tanpa
menghiraukan Kualitas. Tak jarang software hasil lelang dipakai hanya pada saat serah terima saja setelah itu dibiarkan tanpa dipakai dan dirawat, padahal untuk membuat aplikasi tersebut Programmer dan Analis, rela untuk tidak tidur hanya untuk mengejar agar aplikasi bisa launcing tepat pada waktunya
Saya pernah mengalami kondisi saat perusahaan mampu membayar upeti yang nilainya mencapai puluhan juta rupiah untuk mengoalkan sebuah lelang agar bisa didapat, namun ketika jatuh tanggal gajihan karyawan, maka karyawanpun gigit jari karena perusahaan tidak ada kas untuk membayar gaji :-(, alhasil gajian bisa pending untuk periode minggu, bahkan bulan. hal ini karena pihak manajemen lupa skala prioritas. Pihak manajemen juga terkadang sering salah mengestimasi anggaran untuk project yang berada diluar kota, tidak tepat mengalokasi berapa anggaran untuk akomodasi, survey, presentasi
serta kegiatan yang bersifat mobilitas. Dampaknya anggaran perusahaan membengkak, melebihi pagu anggaran dari project tersebut. Naasnya hal tersebut biasanya diketahui ketika project sedang berjalan.
Untuk hal ini biasanya awal hari runtuhnya perusahaan, untuk point 1 dan 2 kemungkinan bisa diperbaiki. Namun klo berbicara ego pemilik saham maka karyawanlah yang menjadi korban. Mereka bisa menutup perusahaan kapan saja mereka mau meskipun banyak project yang sedang ditanggani. Hal ini biasanya diakibatkan karena masalah pembagian bonus atau deviden yang tidak transparan antara pemegang saham yang satu dengan pemegang saham yang lain. Selain hal tersebut konflik biasanya bermula ketika ada salah satu pihak yang tidak menjalankan wewenang sesuai dengan kesepakatan awal.
"Tidak bisa memanusiakan manusia", Bisa dikatakan demikian klo tidak berlebihan. Programmer adalah ujung tombak software house. Namun kesejahteran programmer dan lini karyawan yang lainnya kurang mendapatkan perhatian lebih. Manajemen mengganggap karyawan hanyalah sebuah robot yang bisa di On dan OFF kan sesuai dengan kebutuhan. Masalah kontrak kerja karyawan merupakan hal yang luput dari perhatian manajemen, ditambah lagi pemenuhan kebutuhab hidup standar yang kadang belum terpenuhi 100 %.
Wednesday, September 16, 2009
Runtuhnya Sofware House di Indonesia.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment